Komisi III DPR RI Apresiasi Polda NTT atas Ketegasan Tangani Kasus AKBP Fajar, Desak Penuntasan Dugaan TPPO dan Kekerasan Seksual

Komisi III DPR RI Apresiasi Polda NTT atas Ketegasan Tangani Kasus AKBP Fajar, Desak Penuntasan Dugaan TPPO dan Kekerasan Seksual

Jakarta – Komisi III DPR RI menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) dan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Polda Nusa Tenggara Timur (NTT), Kejaksaan Tinggi NTT, dan Bareskrim Polri di Gedung DPR RI, Kamis (22/5/2025), membahas secara khusus penanganan kasus kekerasan seksual yang melibatkan mantan Kapolres Ngada, AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja.

Rapat yang dipimpin Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, dihadiri oleh sejumlah pejabat tinggi penegak hukum dan aktivis perlindungan anak. Hadir di antaranya Brigjen Pol Nurul Azizah (Direktur Tindak Pidana Perdagangan Perempuan dan Anak/TPPO Bareskrim Polri), Kajati NTT Zet Tadung Allo, Direktur Reskrimum Polda NTT Kombes Pol Patar Silalahi, serta Kabid Propam Polda NTT AKBP Muhammad Andra Wardhana. Dari masyarakat sipil, hadir Aliansi Perlindungan Perempuan dan Anak (APPA) NTT yang dipimpin Asti Laka Lena, bersama Tori Ata, Romo Leo Mali, Ansi Rihi Dara, dan Libby Sinlaeloe.

Latar Belakang dan Proses Kasus

Direktur Reskrimum Polda NTT memaparkan bahwa penyelidikan terhadap AKBP Fajar bermula dari laporan Hubinter Mabes Polri pada 22 Januari 2025. Sehari setelahnya, penyelidikan dimulai oleh Ditreskrimum Polda NTT. AKBP Fajar diamankan oleh Bid Propam Polda NTT pada 21 Februari 2025, kemudian dibawa ke Mabes Polri dan ditahan di Rutan Bareskrim sejak 13 Maret 2025.

Polda NTT mengirim berkas tahap I ke Kejaksaan Tinggi NTT pada 20 Maret 2025, namun dikembalikan lima hari kemudian. Setelah dilengkapi, berkas kembali dikirim pada 28 April 2025 dan dinyatakan P21 atau lengkap oleh Kejati NTT pada 21 Mei 2025.

Tersangka lain dalam kasus ini adalah Stefani Heidi Doko Reihi (Fani), yang juga dijerat dengan UU Perlindungan Anak dan UU TPPO.

Tiga Anak Jadi Korban

Kaitan dengan kasus ini, ada tiga orang korban yakni IBS (5), yang dicabuli pada 11 Juni 2024. Korban lain MA (16), dicabuli pada 15 Januari 2025 serta korban MWAF (13) dicabuli pada tanggal 25 Januari 2924, yang mana dilakukan di dua hotel di Kota Kupang.

Pernyataan Sikap Komisi III DPR RI

Setelah mendengarkan paparan, Komisi III DPR RI menyampaikan empat kesimpulan resmi, yang dibacakan oleh anggota Komisi III, Rikwanto, sebagai berikut:

Pertama, Komisi III DPR RI mengapresiasi Kapolda NTT beserta jajaran dalam proses penyidikan hingga dilimpahkannya berkas perkara ke Kejaksaan Tinggi NTT untuk tahap penuntutan (P21), serta dalam mengawal proses persidangan Komisi Kode Etik Profesi (KKEP) hingga keluarnya putusan terhadap pelanggar etik, AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja.

Kedua, Komisi III DPR RI meminta Kapolda NTT melalui Direktur Reskrimum Polda NTT untuk mengusut secara tuntas dugaan tindak pidana lainnya, antara lain:

  • Dugaan tindak pidana narkotika,

  • Dugaan tindak pidana perdagangan orang (TPPO),

  • Dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU),
    dan dugaan tindak pidana lainnya yang dilakukan oleh AKBP Fajar, Stefani Heidi Doko Reihi, serta pihak-pihak lain yang diduga terlibat, secara transparan, profesional, dan sesuai hukum.

Ketiga, Komisi III DPR RI meminta Kapolri untuk mengoptimalkan upaya pencegahan dan pemberantasan kekerasan seksual, khususnya terhadap perempuan dan anak, dengan mengutamakan perlindungan korban, serta memperkuat koordinasi antara unit PPA, Ditreskrimum, dan stakeholder lainnya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Keempat, Komisi III DPR RI meminta Kejaksaan Tinggi NTT untuk memastikan bahwa proses:

  • Dakwaan,

  • Pelimpahan ke pengadilan, dan

  • Penuntutan

terhadap tersangka AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja dan Stefani Heidi Doko Reihi berjalan sesuai dengan pasal-pasal yang relevan, yaitu:

  • Pasal 81 ayat (2) dan Pasal 82 ayat (1) jo Pasal 76E UU No. 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Perppu No. 1 Tahun 2016 (Perubahan Kedua UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak),

  • Pasal 6 huruf c jo Pasal 15 ayat (1) huruf g UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS),

  • Pasal 45 ayat (1) jo Pasal 27 ayat (1) UU No. 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE),

  • Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 10 jo Pasal 17 UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).


Penegakan Hukum yang Berkeadilan untuk Anak dan Perempuan

Ketua APPA NTT, Asti Laka Lena, mengapresiasi langkah cepat dan transparan dari Polda NTT serta mendorong agar keadilan tidak hanya ditegakkan, tetapi juga berpihak pada korban. Ia menyebut bahwa 75 persen narapidana di NTT tersandung kasus kekerasan seksual, dan jika tak ditangani secara serius, situasi ini akan memperparah krisis sosial di daerah.

“Kami ingin NTT menjadi tempat yang aman bagi perempuan dan anak. Keadilan harus ditegakkan secara penuh, bukan hanya pada pelaku, tetapi juga dalam perlindungan terhadap korban,” ujarnya.


Komisi III DPR RI menegaskan komitmennya untuk terus mengawal proses hukum ini sampai tuntas, menjadikan kasus ini sebagai momentum nasional untuk membenahi sistem perlindungan hukum bagi perempuan dan anak, serta membongkar jaringan kejahatan seksual dan perdagangan orang hingga ke akar-akarnya.