Polri untuk Masyarakat: Praperadilan Ditolak, Penyidikan Kasus Dugaan Pencabulan oleh Guru di Sabu Raijua Lanjut ke Tahap Berikutnya

Kupang — Komitmen Polri dalam melindungi anak sebagai bagian terpenting dari masyarakat kembali ditegaskan melalui penanganan kasus dugaan pencabulan terhadap puluhan siswa SD di Kabupaten Sabu Raijua, NTT. Permohonan praperadilan yang diajukan tersangka Benyamin E. Koro Dimu, S.Pd. (60), wali kelas di SD Negeri Lobolauw, resmi ditolak seluruhnya oleh Pengadilan Negeri Kelas IA Kupang, Jumat (11/7/2025).
Dalam sidang putusan yang dipimpin Hakim Tunggal Consilia Ina Lestari Palang Ama, S.H., pengadilan menyatakan bahwa penetapan tersangka oleh penyidik Polres Sabu Raijua telah sesuai prosedur dan didukung bukti permulaan yang cukup.
“Menolak permohonan praperadilan pemohon untuk seluruhnya dan membebankan biaya perkara kepada pemohon sebesar nihil,” tegas hakim saat membacakan amar putusan di ruang sidang Cakra.
Proses persidangan dihadiri oleh kuasa hukum pemohon serta pihak termohon dari Polres Sabu Raijua, didampingi tim Bidkum Polda NTT dan penyidik Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA).
Dengan ditolaknya praperadilan tersebut, penyidik kini dapat melanjutkan perkara ke tahap berikutnya, termasuk pelimpahan berkas ke kejaksaan.
Kabidhumas Polda NTT, Kombes Pol Henry Novika Chandra, S.I.K., M.H., menegaskan bahwa proses hukum akan terus dikawal dengan profesionalisme dan keberpihakan pada korban, khususnya anak-anak.
“Polri, khususnya Polda NTT dan jajaran, berkomitmen untuk melindungi anak-anak sebagai bagian terpenting dari masyarakat. Penolakan praperadilan ini adalah bagian dari proses keadilan. Kami pastikan penanganan dilakukan secara profesional, humanis, dan transparan,” ujar Kombes Henry.
Kabidhumas juga menegaskan bahwa dalam proses penyidikan yang melibatkan anak di bawah umur, Polri tetap menghormati prinsip kerahasiaan identitas korban, sebagaimana diatur dalam Pasal 17 huruf a Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, yang menyatakan bahwa informasi yang dapat mengungkap identitas korban kekerasan seksual dikecualikan dari informasi publik.
“Kita lindungi anak-anak tidak hanya secara hukum, tapi juga dari sisi martabat dan privasi mereka. Karena itu, identitas para korban tidak akan kami buka ke publik, demi menjaga masa depan dan pemulihan psikologis mereka,” tegas Kombes Henry.
Kasus yang melibatkan 24 anak di bawah umur ini mencuat setelah laporan orang tua siswa mencurigai tindakan tak pantas yang dilakukan oleh guru mereka di lingkungan sekolah. Fakta bahwa kejadian ini terjadi di ruang pendidikan dasar menambah keprihatinan publik dan lembaga perlindungan anak.
Polda NTT memastikan proses pendampingan psikologis terhadap para korban terus dilakukan, serta mengimbau masyarakat untuk mendukung upaya penegakan hukum demi menciptakan ruang aman dan ramah anak di setiap lini kehidupan.