Pergub NTT No. 44 Tahun 2019: Dari Sopi Menuju Simbol Kemajuan Masyarakat Lontar
Oleh: Kombes Pol Henry Novika Chandra, S.I.K., M.H — Kabidhumas Polda NTT
Nusa Tenggara Timur, 2025 — Di antara hamparan pohon lontar yang berdiri gagah di tanah kering Nusa Tenggara Timur, menetes perlahan cairan jernih dari nira yang selama berabad-abad menjadi sumber kehidupan masyarakat. Dulu, cairan itu disuling menjadi sopi — minuman tradisional yang melekat dalam setiap upacara adat, pernikahan, dan perayaan budaya. Kini, di bawah cahaya kebijakan modern, sopi tidak lagi sekadar minuman, tetapi simbol transformasi sosial dan ekonomi yang lahir dari kearifan lokal.
Warisan Leluhur yang Dikelola dengan Bijak
Pergub NTT No. 44 Tahun 2019 menjadi tonggak sejarah penting dalam pengelolaan minuman tradisional. Regulasi ini bukan untuk mematikan tradisi, melainkan menata dan memurnikannya agar tetap hidup dalam koridor hukum, kesehatan, dan ekonomi berkelanjutan.
Sopi, moke, dan laru kini diproduksi secara legal dan higienis, memberi peluang ekonomi baru bagi masyarakat tanpa menghilangkan nilai adat yang sakral.
Dari Nira ke Nilai Ekonomi
Transformasi ini terbukti mengubah wajah banyak desa di NTT. Salah satunya adalah Desa Benu di Kecamatan Takari, yang dulunya dikenal sebagai sentra produksi sopi ilegal, kini menjadi desa penghasil gula merah dan Sopiah—produk sopi murni berstandar tinggi yang siap menembus pasar wisata.
“Dulu masyarakat hidup dalam ketakutan karena produksi sopi ilegal. Sekarang, mereka tenang dan bangga karena menghasilkan produk yang halal dan bernilai ekonomi tinggi,” ujar Bripka Gede Suta, Bhabinkamtibmas Desa Benu yang menjadi motor penggerak perubahan ini.
Polri Hadir Sebagai Pendorong Transformasi
Polri, dalam hal ini Polda NTT, berperan aktif mendampingi masyarakat untuk beralih dari praktik ilegal menuju usaha legal dan berkelanjutan. Melalui pendekatan humanis, Bhabinkamtibmas di setiap wilayah menjadi jembatan antara hukum dan kesejahteraan rakyat.
Pendekatan ini bukan hanya soal penegakan hukum, tetapi juga tentang membangun kepercayaan dan memberikan solusi bagi masyarakat agar tradisi bisa berkembang tanpa menimbulkan masalah sosial.
Pergub yang Menghidupkan, Bukan Mematikan
Kehadiran Pergub No. 44 Tahun 2019 membuktikan bahwa budaya dan hukum bisa berjalan beriringan. Regulasi ini mengatur dengan tegas, namun tetap memberi ruang bagi masyarakat untuk melestarikan tradisi. Kini, produk-produk lokal dari nira lontar tidak hanya menjadi sumber ekonomi, tetapi juga kebanggaan daerah.
Harapan dari Tanah Lontar
Masyarakat NTT kini hidup dengan filosofi baru: menjaga warisan sambil menatap masa depan. Pemerintah daerah, tokoh adat, dan aparat kepolisian bersinergi menjadikan setiap tetes nira sebagai sumber kesejahteraan, bukan sumber masalah.
“Dulu sopi jadi simbol kebersamaan, sekarang juga jadi simbol perubahan,” tutur Mama Maria, salah satu pengrajin gula merah di Desa Benu.
Penutup: Dari Tradisi Menuju Transformasi
Pergub NTT No. 44 Tahun 2019 bukan sekadar peraturan, tetapi jembatan antara masa lalu dan masa depan. Dengan kolaborasi antara pemerintah, Polri, dan masyarakat, NTT kini melangkah menuju tatanan baru — di mana warisan leluhur tetap hidup, namun dalam bentuk yang menyejahterakan.
Dari sopi menuju Sopiah, dari tradisi menuju kemajuan —
Nusa Tenggara Timur membuktikan bahwa perubahan sejati lahir dari kearifan yang dijaga, bukan dari kebiasaan yang ditinggalkan.
Humas Polda NTT
