Aiptu Suryanto, “Bapak Pembangunan” dari Desa Hanggaroru

Aiptu Suryanto, “Bapak Pembangunan” dari Desa Hanggaroru

Sumba Timur – Di balik seragam cokelat yang sehari-hari melekat di tubuhnya, Aiptu Suryanto memikul misi lain yang tak kalah mulia. Sebagai Bhabinkamtibmas Polsek Rindi, Polres Sumba Timur, ia bukan hanya hadir menjaga keamanan desa, tetapi juga menjadi penggerak perubahan di pelosok Desa Hanggaroru, Kecamatan Rindi.

Bagi warga, Suryanto bukan sekadar polisi yang ditugaskan. Ia adalah “Bapak Pembangunan” – sosok yang hadir di saat harapan seolah tak ada.

Dari Keprihatinan Lahir Tekad

Tahun 2015 menjadi titik balik. Saat pertama kali bertugas di wilayah itu, Suryanto menyaksikan kenyataan pahit: sebagian besar anak-anak hanya mampu menyelesaikan pendidikan hingga bangku SD. Selepas itu, mereka berhenti sekolah. Alasannya sederhana, namun memilukan. Sekolah lanjutan berjarak lebih dari 20 kilometer, tanpa kendaraan maupun akses transportasi yang memadai.

“Awalnya kami prihatin, anak-anak harus putus sekolah hanya karena jarak,” kenang Suryanto dengan nada getir.

Keprihatinan itu berubah menjadi tekad. Ia menggandeng Kepala Desa Hina Tunggu Mara dan para tokoh masyarakat untuk mencari jalan keluar. Dari musyawarah lahirlah gagasan mendirikan sekolah menengah pertama di desa.

Lahirnya SMPTK Hanggaroru

Perjuangan dimulai dengan modal semangat dan gotong royong. Sebuah bangunan bekas rumah transmigrasi diubah menjadi ruang kelas sederhana. Itulah cikal bakal SMP Theologi Kristen (SMPTK) Hanggaroru.

Sebelas murid pertama mendaftar, dan untuk menutupi kekurangan tenaga pengajar, Suryanto ikut turun tangan mengajar. “Bukan karena gelar, tapi karena kepedulian,” ucapnya singkat.

Namun jalan tak selalu mulus. Gedung yang digunakan rusak berat. Setiap kali hujan turun, air merembes dari atap bocor, memaksa kegiatan belajar berhenti. “Kami sedih lihat anak-anak harus berhenti belajar hanya karena atap bocor atau air masuk ke kelas,” tutur Suryanto.

Dari Ragu Menjadi Harapan

Keterbatasan itu tak mematahkan semangat. Warga bergotong royong membangun gedung baru secara swadaya. Mereka bahkan menunjuk Suryanto sebagai ketua pembangunan. Meski begitu, tantangan lain muncul. Sekolah belum terdaftar resmi, sehingga murid angkatan pertama harus menumpang ujian di Sumba Barat.

Perlahan, hasil nyata mulai tampak. Hari ini, SMPTK Hanggaroru berdiri dengan gedung permanen, menampung 98 murid dan 9 guru. Sebuah capaian besar dari sebuah komunitas kecil yang menolak menyerah pada keterbatasan.

“Awalnya kami pesimis,” kenang Lili Kondamara, salah satu tokoh masyarakat. “Tapi nyatanya sekarang anak-anak kami bisa terus sekolah. Kami sangat bersyukur.”

Satu Hati, Seribu Perubahan

Bagi Suryanto, keberhasilan ini bukan sekadar tentang berdirinya sebuah sekolah, melainkan bukti bahwa perubahan bisa lahir dari kepedulian. “Kalau bukan kita, siapa lagi yang akan peduli pada masa depan anak-anak di sini?” ujarnya penuh keyakinan.

Kisah Aiptu Suryanto adalah pengingat bahwa kebaikan tak selalu harus dimulai dari kebijakan besar atau kekuasaan tinggi. Cukup satu hati yang peduli, satu langkah kecil yang konsisten, maka perubahan bisa terwujud.

Di Hanggaroru, seorang bhabinkamtibmas telah membuktikannya.